Polri di Persimpangan: Netralitas Aparat Dipertanyakan dalam Kasus Jurnalis Leo Amaron
Jayantara-News.com, Jakarta
Kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Wasekjen Organisasi Masyarakat Nias (Ormas Onur), Ferlianus Gulo, terhadap Pemimpin Redaksi Jurnalpolisi.id, Leo Amaron, kembali menyoroti bagaimana institusi kepolisian menangani perkara yang berkaitan dengan kebebasan pers.
Kasus ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang objektivitas dan profesionalisme aparat dalam menegakkan hukum, terutama dalam konteks pemberitaan yang berbasis fakta. Berita yang menjadi dasar pelaporan bukanlah rekayasa atau berita bohong, melainkan berdasarkan fakta lapangan terkait dugaan perselingkuhan, pelecehan seksual, atau bahkan pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh pelapor, Ferlianus Gulo, terhadap seorang wanita bermarga Harefa berinisial DP.
Wanita tersebut dikabarkan hamil dan melahirkan anak akibat dugaan tindakan Gulo, yang seharusnya diproses sebagai tersangka dalam kasus kejahatan pidana. Namun, alih-alih pelaku dugaan kejahatan yang diproses hukum, justru jurnalis yang mengangkat kasus ini yang dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik.
Ketidakadilan dalam Penanganan Kasus: Mengapa Hanya Satu Media yang Dikejar?
Berita terkait dugaan kejahatan Ferlianus Gulo tidak hanya ditayangkan di Jurnalpolisi.id, tetapi juga di berbagai media lain, termasuk:
✅ Suara Sindo
✅ Suara Hebat
✅ Garda Metro
✅ Zoin News
Jika benar tujuan pelapor adalah mencari keadilan, semestinya semua media yang memberitakan kasus ini juga dilaporkan. Fakta bahwa hanya Leo Amaron yang diproses justru menimbulkan kecurigaan adanya motif lain di balik kasus ini.
Dugaan Pemerasan: Apakah Ada Motif di Balik Laporan Ini?
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa pelapor, Ferlianus Gulo, meminta uang damai sebesar Rp50 juta kepada terlapor. Jika benar, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai percobaan pemerasan, yang justru merupakan tindak pidana serius.
Sebagai institusi penegak hukum yang profesional, Polri seharusnya tidak hanya memproses laporan Ferlianus Gulo, tetapi juga menyelidiki dugaan pemerasan ini. Jika benar ada permintaan uang damai, maka pelaporlah yang semestinya diperiksa dan diproses hukum.
Mengabaikan UU Pers, Kriminalisasi Jurnalis?
Dalam kasus keberatan atas pemberitaan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah mengatur mekanisme penyelesaiannya, yaitu:
📌 Hak Jawab (Pasal 1 Ayat 11) – Hak seseorang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan yang dianggap merugikan.
📌 Hak Koreksi (Pasal 1 Ayat 12) – Hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers.
📌 Kewajiban Koreksi (Pasal 1 Ayat 13) – Kewajiban media untuk melakukan ralat terhadap informasi yang tidak benar.
Jika Ferlianus Gulo merasa dirugikan oleh pemberitaan, ia seharusnya menggunakan hak jawab, bukan melaporkan jurnalis dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Menariknya, berita yang dimuat di Jurnalpolisi.id telah dihapus atas permintaan Ferlianus Gulo dalam mediasi yang dilakukan di depan penyidik Polda Riau. Namun, meskipun berita sudah tidak ada, pelapor tetap bersikeras mengejar proses hukum terhadap Leo Amaron.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah ada pihak tertentu yang memiliki kepentingan dalam kasus ini?
Percakapan Wilson Lalengke dengan Penyidik Polda Riau: Ada Kejanggalan?
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, melakukan percakapan telepon dengan penyidik Polda Riau, Brigpol Yudha, pada Rabu malam, 19 Februari 2025.
Dalam percakapan tersebut, Wilson Lalengke menyoroti beberapa kejanggalan:
➡ Mengapa hanya Leo Amaron yang dilaporkan, sementara media lain yang memberitakan hal yang sama tidak diproses?
➡ Apakah permintaan uang Rp50 juta dari pelapor termasuk dalam kategori pemerasan?
➡ Mengapa berita sudah dihapus tetapi kasus masih berjalan?
Menurut Wilson, jika ada keberatan terhadap pemberitaan, maka mekanisme yang benar adalah menggunakan hak jawab, bukan kriminalisasi jurnalis.
“Kalau berita itu sudah dihapus, kenapa masih dipersoalkan? Jadi wajar kalau kita berpikir ada sesuatu yang menjadi target. Apakah target itu si pelapor atau teman-teman polisi?” ujar Wilson.
Wilson juga menyoroti bahwa kasus ini sudah bergulir sejak 2023 dan belum selesai. Jika kasus ini terus berlarut-larut, maka bisa jadi ada pihak yang berkepentingan untuk menjadikan kasus ini sebagai alat tekanan
Ujian Netralitas Polri dalam Kasus Ini
Kasus ini mencerminkan bagaimana penyalahgunaan kewenangan dapat terjadi dalam sistem hukum kita. Jika penyidik di Polda Riau terbukti bertindak di luar kewenangan dengan tujuan tertentu, maka mereka harus diperiksa dan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Ketua PPWI, Wilson Lalengke, mendesak Wassidik Polri untuk turun tangan dalam kasus ini dan memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam penanganannya.
Jika Polri ingin menjaga kepercayaan publik, maka mereka harus membuktikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan dengan adil, bukan berdasarkan kepentingan pihak tertentu.
Kasus ini bukan hanya tentang Leo Amaron, tetapi juga tentang kebebasan pers di Indonesia. Jika seorang jurnalis bisa diproses hukum hanya karena memberitakan fakta, maka ini menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
📢 Dewan Pers, Komnas HAM, dan institusi kepolisian harus memastikan tidak ada kriminalisasi terhadap jurnalis. Jika praktik semacam ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. (Tim/Red)