Setelah Larang Study Tour, Dedi Mulyadi Larang Orang Tua Antar Anak ke Sekolah
Jayantara-News.com, Jabar
Setelah menggemparkan publik dengan larangan study tour, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali membuat gebrakan kontroversial. Kali ini, ia mengimbau agar para orang tua dilarang mengantar maupun menunggu anaknya di sekolah.
Menurut Dedi, aturan ini dibuat untuk mencegah campur tangan berlebihan dari orang tua yang bisa berdampak negatif terhadap sekolah.
> “Saya tidak mau ke depan anak diantar oleh orang tuanya ke sekolah, orang tuanya kumpul di depan kelas,” ujar Dedi Mulyadi, dikutip dari akun Instagram @pembasmi.kehaluan.reall, Jumat (14/3/2025).
Dedi beralasan, keberadaan orang tua di lingkungan sekolah bisa berujung pada gosip, pembentukan kelompok tertentu, hingga intervensi terhadap guru.
> “Mereka saling ngomongin satu sama lain, membuat klub di kelas, mengintervensi guru, nanti mengatur guru, yang akhirnya bisa menimbulkan keributan,” tambahnya.
Dedi menegaskan bahwa sekolah adalah ranah guru, dan orang tua tidak seharusnya ikut campur. Untuk mempertegas aturan ini, ia bahkan mengusulkan pemasangan pagar tinggi dan menggembok gerbang sekolah selama jam pelajaran berlangsung.
Selain itu, ia juga melarang tumpukan motor orang tua di depan sekolah karena dinilai mengganggu ketertiban.
> “Orang tua murid harus pulang. Tidak boleh ada tumpukan motor di depan sekolah, kenapa? Mengganggu,” katanya.
Dedi juga menyentil budaya menunggu anak di sekolah yang menurutnya harus diubah, khususnya di Jawa Barat.
Kebijakan Tanpa Kompromi: Dari Larangan Study Tour Hingga Pemecatan Kepala Sekolah
Sejak dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat pada Kamis (20/2/2025), Dedi Mulyadi langsung membuat berbagai kebijakan yang menuai pro dan kontra. Salah satu yang paling disorot adalah larangan study tour.
Ia bahkan tak segan-segan memecat kepala sekolah yang masih nekat memberangkatkan siswanya untuk wisata pendidikan. Alasannya, kegiatan tersebut membebani ekonomi orang tua dan berisiko bagi keselamatan siswa.
> “Banyak orang tua yang terpaksa berutang untuk membiayai study tour anak mereka. Pada akhirnya, kondisi ini menambah beban ekonomi keluarga,” tegasnya.
Sebagai alternatif, Dedi mendorong OSIS untuk mengelola acara perpisahan secara kreatif di sekolah, misalnya dengan pertunjukan seni yang tidak membebani orang tua secara finansial.
> “Tantangan terberat bukan sekarang, tapi nanti saat mereka mencari pekerjaan dan harus menata hidup. Jangan sampai mereka tumbuh menjadi pribadi yang hanya suka berpesta dan menghambur-hamburkan uang orang tua,” ujarnya.
Dedi menegaskan bahwa kebijakan-kebijakannya bertujuan membentuk generasi muda Jawa Barat yang tangguh dan siap bersaing di tingkat nasional maupun internasional.
> “Tugas saya adalah membangun kualitas anak-anak Jawa Barat agar mereka menjadi generasi yang mampu bersaing dengan provinsi lain, bahkan dengan bangsa-bangsa lain,” pungkasnya.
Meski kebijakan-kebijakan ini menuai kritik, Dedi tetap pada pendiriannya. Bahkan dalam sebuah perbincangan dengan Humas SMAN 6 Depok, ia menegaskan bahwa study tour seharusnya tidak perlu dilakukan ke luar kota jika ada alternatif lebih dekat, seperti Universitas Indonesia di Depok.
Namun, di balik ketegasannya, Dedi juga sempat menyampaikan permintaan maaf atas kehebohan yang terjadi.
> “Nggak, nggak, nggak usah minta maaf sama saya. Saya yang minta maaf bikin kebijakan yang membuat marah semua orang,” ujarnya.
Kebijakan Dedi Mulyadi ini kembali menjadi sorotan publik. Apakah ini langkah berani demi perubahan, atau justru kebijakan nyeleneh yang terlalu jauh mencampuri kehidupan warga? (Goes)