Skandal KTP Ganda & Mafia Administratif: Kenapa Polda Sumut Tutup Kasus Ini?
Jayantara-News.com, Medan
Kasus dugaan KTP ganda atas nama Sihar Sitorus (SS) di Sumatera Utara (Sumut) semakin menjadi sorotan. Pasalnya, meski ada indikasi praktik ilegal, penyidikan yang dilakukan oleh Polda Sumut (Poldasu) tiba-tiba dihentikan. Publik pun bertanya-tanya, bagaimana mungkin kasus sebesar ini disetop tanpa kejelasan, sementara keberadaan SS sendiri justru menjadi misteri?
Menurut informasi yang dihimpun, SS memiliki kuasa hukum yang aktif mewakilinya dalam proses hukum. Namun, keberadaan fisik SS sendiri masih dipertanyakan, mengingat indikasi KTP ganda ini diduga terkait praktik manipulasi administratif. Kasus ini semakin mencurigakan karena ada dugaan pemalsuan identitas yang melibatkan jaringan mafia kependudukan.
Kejanggalan dan Dugaan Pelanggaran Hukum
Penghentian penyidikan ini menimbulkan tanda tanya besar. Jika SS benar-benar tidak ada, bagaimana bisa ia memiliki dua KTP? Jika ada dugaan pemalsuan, mengapa polisi justru menghentikan kasusnya?
Aktivis Rules Gaja, S.Kom, mengecam langkah ini. “Polisi harus transparan dan memberikan penjelasan yang jelas kepada publik. Jika memang SS tidak ada, bagaimana mungkin kasus ini dihentikan begitu saja? Ini bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum kita!” tegasnya.
Secara hukum, dugaan KTP ganda dan pemalsuan identitas bisa melanggar sejumlah pasal, antara lain:
– Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, dengan ancaman pidana hingga 6 tahun penjara.
– Pasal 96A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, yang melarang setiap orang dengan sengaja memiliki lebih dari satu KTP elektronik dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun dan denda hingga Rp75 juta.
– Pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang menegaskan bahwa penggunaan dokumen kependudukan palsu merupakan tindak pidana.
Masyarakat meminta Polda Sumut memberikan klarifikasi terkait penghentian penyidikan ini. Jika memang ada unsur penyalahgunaan kewenangan, maka harus ada evaluasi menyeluruh terhadap proses hukum yang berjalan. Selain itu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) diharapkan turut berperan aktif dalam membongkar praktik mafia kependudukan yang bisa merusak sistem administrasi negara.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi aparat penegak hukum. Jika dibiarkan, praktik serupa bisa semakin marak dan berdampak luas, termasuk dalam pemilu, perbankan, dan berbagai sektor lainnya. Masyarakat berhak tahu: siapa yang bermain di balik skandal ini? (Goes)