Soroti Banyaknya Tanah Carik yang Diperjualbelikan Oknum Kades & Kroninya, Ketua PPWI Jabar: Telusur, PIDANAKAN!!!
Jayantara-News.com, Jabar
Kasus penjualan tanah carik oleh oknum kepala desa (Kades) dan kroninya merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan negara secara signifikan. Tanah carik atau tanah desa seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan masyarakat desa, dan bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Jika tanah tersebut dijual secara ilegal, maka negara kehilangan aset penting yang seharusnya dikelola untuk pembangunan desa.

Tindakan tersebut bisa dianggap sebagai tindak pidana korupsi karena memanfaatkan jabatan untuk keuntungan pribadi dan bisa dikenakan sanksi hukum. Selain merugikan negara, masyarakat desa yang seharusnya mendapatkan manfaat dari tanah tersebut juga ikut dirugikan.
Kasus-kasus seperti ini biasanya melibatkan kolusi antara kepala desa dan pihak-pihak tertentu yang mencari keuntungan secara tidak sah, dan dapat menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum.
Menyoroti hal tersebut, Agus Chepy Kurniadi, selaku Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jabar/Koreg Jabar – Banten – DKI, menegaskan kepada anggotanya di manapun berada, agar segera tanggap. “Lakukan investigasi ke lapangan dan telusur! Andaikan akurat sumber dan alat buktinya, segera laporkan ke pihak berwenang agar segera dipidanakan!” tegasnya.
Agus Chepy Kurniadi, yang juga merupakan Pemred/Pimum Media Online Jayantara-News.com, mengimbau kepada masyarakat, agar jangan takut untuk mengadu ke lembaga tertentu, atau membuat pelaporan. Karena negara kita negara hukum. Dan siapapun sama di mata hukum.
“Penting bagi masyarakat untuk waspada dan melaporkan tindakan yang merugikan ini, agar bisa ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku,” tandasnya.
Agus Chepy katakan, bahwa oknum kepala desa yang menjual tanah carik secara ilegal, dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan beberapa peraturan di Indonesia. “Tanah carik merupakan aset desa yang harus dikelola untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk diperjualbelikan secara pribadi,” ujarnya.
Beberapa undang-undang yang bisa menjerat oknum kepala desa (Kades) dalam kasus ini, antara lain:
1. Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 76 menyebutkan, bahwa kepala desa dilarang menjual, menghibahkan, atau memindahtangankan aset desa tanpa izin dari pemerintah daerah.
Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian atau sanksi pidana, jika terbukti adanya unsur penyalahgunaan wewenang.
2. Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Jika penjualan tanah carik dilakukan dengan niat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Hukuman bagi tindak pidana korupsi berupa penjara minimal 4 tahun hingga maksimal 20 tahun, dan denda antara Rp.200 juta hingga Rp.1 miliar.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 372 tentang penggelapan, juga bisa dikenakan, jika terbukti kepala desa telah menggelapkan aset desa untuk kepentingan pribadi.
Hukuman untuk penggelapan bisa berupa pidana penjara maksimal 4 tahun.
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa.
Yang menegaskan, bahwa kepala desa yang melanggar ketentuan pengelolaan aset desa dapat dikenai sanksi pidana dan administratif sesuai peraturan yang berlaku.
“Dengan adanya aturan-aturan ini, tindakan menjual tanah carik tanpa prosedur yang sah, dapat menyebabkan hukuman berat bagi oknum kepala desa yang terlibat,” pungkas Agus Chepy Kurniadi. (JO JN)