Tito Karnavian Keberatan dengan Wacana Penggabungan POLRI ke Kemendagri, Ini Alasannya:
Jayantara-News.com, Jabar
Baru-baru ini, wacana penggabungan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali mencuat dan menimbulkan pro dan kontra. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang juga mantan Kapolri, mengungkapkan keberatannya terhadap gagasan tersebut.
Tito menjelaskan, bahwa model integrasi Polri ke Kemendagri tidak sejalan dengan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam UU tersebut, Polri ditetapkan sebagai institusi yang independen langsung di bawah Presiden, sehingga memiliki kewenangan dan fungsi yang netral tanpa campur tangan politik.
“Kalau Polri ditempatkan di bawah Kemendagri, ini berpotensi menciptakan kerancuan fungsi serta menurunkan independensi Polri,” ujar Tito dalam sebuah pernyataan resmi. Ia menambahkan, bahwa Polri harus tetap menjadi lembaga independen agar dapat menjalankan fungsi penegakan hukum, keamanan, dan pelayanan masyarakat tanpa intervensi politik atau birokrasi berlebihan.
Salah satu alasan utama Tito menolak wacana tersebut adalah potensi politisasi yang dapat muncul jika Polri berada di bawah Kemendagri. Dalam sistem presidensial, Kemendagri merupakan bagian dari kabinet yang secara langsung di bawah kendali politik Presiden. Jika Polri berada di bawah kementerian, maka dikhawatirkan fungsi-fungsi kepolisian, termasuk penegakan hukum, akan kehilangan objektivitas dan cenderung menjadi alat kekuasaan.
Tito juga menekankan, bahwa selama ini model Polri yang independen telah terbukti efektif dalam menjaga keamanan nasional. Ia merujuk pada pengalaman Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ancaman terorisme hingga penanganan konflik sosial.
Meski menolak ide penggabungan tersebut, Tito tidak menutup kemungkinan untuk memperkuat sinergi antara Polri dan Kemendagri dalam beberapa aspek. Ia menyarankan adanya kerja sama yang lebih erat dalam hal pengamanan pemilu, penanganan konflik sosial, serta pengawasan dana desa yang kerap menjadi isu sensitif di daerah.
“Sebaiknya kita fokus pada penguatan koordinasi lintas institusi tanpa mengubah struktur yang sudah ada,” tambahnya.
Wacana ini menimbulkan tanggapan beragam dari berbagai pihak. Sebagian mendukung ide penggabungan dengan alasan efisiensi, sementara lainnya, termasuk kalangan akademisi dan pegiat hak asasi manusia, mengkhawatirkan dampak buruknya terhadap sistem demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan sinyal pasti terkait langkah yang akan diambil. Namun, perdebatan tentang posisi Polri ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara efektivitas institusi dan prinsip demokrasi.
Tito Karnavian berharap wacana ini ditinjau kembali secara matang, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap keberlangsungan institusi Polri dan stabilitas nasional. “Jangan sampai niat untuk memperbaiki, malah justru menimbulkan masalah baru,” pungkasnya. (Red)