Wacana Penempatan Napi Koruptor di Rutan TNI Adalah Langkah Tepat, Jika RUU Perampasan Aset Tidak Disahkan: Setujukah Anda?
Jayantara-News.com, Jawa Barat
Wacana penempatan narapidana koruptor di rumah tahanan (rutan) milik TNI muncul sebagai bentuk tekanan agar DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Jawa Barat, Agus Chepy Kurniadi, menilai langkah ini sebagai respons atas desakan masyarakat untuk memberlakukan tindakan tegas terhadap pelaku korupsi, terutama dalam upaya mengembalikan kerugian negara.
“RUU Perampasan Aset dirancang agar negara dapat menyita hasil tindak pidana tanpa proses hukum yang berlarut-larut. Namun, jika RUU ini tidak segera disahkan, pemindahan napi koruptor ke rutan militer bisa menjadi alternatif represif,” ungkap Agus.
Rutan TNI: Alternatif dan Tantangannya
Penempatan narapidana koruptor di rutan militer dinilai strategis karena fasilitas tersebut memiliki pengawasan ketat dan disiplin tinggi. Langkah ini diharapkan memberikan efek jera sekaligus menunjukkan keseriusan negara dalam memberantas korupsi.
Namun, wacana ini tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak mengkhawatirkan potensi tumpang tindih dengan sistem peradilan pidana sipil, serta kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dapat terjadi dalam pelaksanaannya.
Hambatan Pengesahan RUU Perampasan Aset
Hingga kini, DPR belum mengesahkan RUU Perampasan Aset. Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab tertundanya pengesahan, di antaranya:
1. Kepentingan Politik
Pengesahan RUU ini berpotensi berdampak pada aktor politik tertentu, terutama mereka yang memiliki hubungan dengan pelaku kasus korupsi. Kondisi ini menghambat dukungan politik terhadap RUU tersebut.
2. Ketakutan akan Penyalahgunaan
Beberapa anggota DPR khawatir bahwa kewenangan perampasan aset tanpa putusan pengadilan dapat disalahgunakan. Mereka meminta pengaturan lebih detail untuk mencegah tindakan sewenang-wenang.
3. Perbedaan Pandangan Internal
Pembahasan RUU ini menghadapi kendala akibat perbedaan pandangan di antara fraksi-fraksi di DPR. Ada yang mendukung percepatan pengesahan, namun ada pula yang menginginkan revisi lebih lanjut.
4. Lobi dan Tekanan Eksternal
RUU ini kemungkinan menghadapi tekanan dari pihak-pihak berkepentingan, termasuk individu atau kelompok yang khawatir terhadap dampaknya pada aset mereka.
5. Prioritas Legislasi
DPR sering memprioritaskan pembahasan undang-undang lain yang dianggap lebih mendesak, sehingga RUU Perampasan Aset tertunda.
6. Minimnya Desakan Publik
Meski penting, kurangnya tekanan publik yang konsisten membuat DPR tidak merasa terdesak untuk segera mengesahkan RUU ini.
“RUU Perampasan Aset menjadi salah satu elemen penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk itu, pengawasan dan tekanan dari masyarakat sipil sangat diperlukan agar DPR bertindak sesuai dengan kepentingan publik,” pungkas Agus Chepy Kurniadi. (Red)