Narasi Sarasa Institute Dinilai Provokatif di Pangandaran: “Kritik Serampangan atau Manuver Politik Berkedok Akademik?”
Jayantara-News.com, Pangandaran
Satu narasi sedang dimainkan secara masif di ruang publik: bahwa Kabupaten Pangandaran “setengah sekarat”, menghadapi krisis fiskal akut, dan dikelola oleh sistem yang disebut gagal total. Narasi ini diusung oleh Sarasa Institute, sebuah lembaga lokal yang mengklaim independen, namun kini justru menuai kritik balik dari berbagai kalangan karena dinilai menyebarkan kepanikan tanpa bukti faktual.
Berita terkait, baca di sini:
Tudingan terhadap Pemerintah Kabupaten Pangandaran tidak main-main: mulai dari dugaan korupsi, kegagalan tata kelola keuangan, hingga permintaan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, satu pertanyaan fundamental muncul: di mana bukti konkretnya?
Pengamat kebijakan publik dan tokoh muda Pangandaran, Rohimat Resdiana, mempertanyakan motif di balik narasi yang terus dipompa ini.
“Menuding ada kegagalan sistemik dan menyebut daerah ini sekarat, padahal Audit telah dilakukan BPK. Itu bukan kritik akademik, tapi propaganda yang dikemas canggih,” tulis Rohimat melalui pesan WhatsApp kepada Jayantara-News.com, Selasa (10/6/2025).
Rohimat menyebut bahwa framing ini berbahaya karena mengaburkan perbedaan antara fakta fiskal dan opini politik. Ia menegaskan, tantangan fiskal memang nyata, namun itu bukan hal yang unik bagi Pangandaran. Pasca pandemi COVID-19, banyak daerah mengalami tekanan akibat pergeseran anggaran dan perubahan pola transfer keuangan pusat.
Pertanyaan lain yang lebih menggelitik: Mengapa Sarasa Institute, yang seharusnya menjadi pusat kajian objektif, tampak lebih agresif daripada partai oposisi sekalipun? Desakan audit forensik disuarakan sebelum laporan keuangan diuji oleh lembaga resmi. Bahkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK pun diabaikan, seolah tidak valid.
“Kalau ada temuan baru, silakan sampaikan ke BPK. Tapi kalau hanya lempar narasi ke media tanpa data, itu jelas tendensius,” kata Rohimat.
Sarasa Institute juga menyerang kebijakan Pemkab Pangandaran yang mengajukan pinjaman ke Bank BJB. Padahal, semua proses pinjaman telah melewati mekanisme resmi, dengan pengawasan dari lembaga terkait.
“Ini framing yang ngawur. Pinjaman itu alat kebijakan fiskal, bukan sinyal kebangkrutan. Bahkan pemerintah pusat pun berutang. Mengapa standar ganda dipakai terhadap pemerintah daerah?” tanya Rohimat sinis.
Narasi soal belum dibayarkannya Siltap dan Dana Bagi Hasil (DBH) desa juga dijadikan amunisi kritik. Padahal menurut Pemkab, pembayaran aman dan DBH dilakukan secara bertahap. Apakah Sarasa Institute tidak tahu fakta ini, atau sengaja menutup mata?
“Kalau tidak tahu, berarti ceroboh. Kalau tahu tapi tetap menyebarkan narasi sesat, itu manipulatif. Keduanya tidak mencerminkan kejujuran intelektual,” ujar Rohimat.
Mengapa Bukan duduk bersama Menyampaikan langsung ke Bupati? Mengapa Justru Provokasi Publik?
Kritik yang jujur mestinya dilandasi data, disalurkan melalui mekanisme formal: sampaikan langsung masukan kepada Bupati. Tapi ketika kritik berubah menjadi panggung opini publik, dengan narasi bombastis tanpa bukti, patut dicurigai: siapa sebenarnya yang sedang membangun panggung politik atas nama moral?
Rohimat bahkan menyebut ada indikasi trauma politik pasca-Pilkada 2024 yang belum selesai. “Jangan sampai yang belum move on dari kontestasi politik, sekarang menunggangi isu fiskal untuk menjatuhkan pemerintah daerah,” ujarnya.
Rohimat menegaskan, PAD Pangandaran justru meningkat, terutama dari sektor pariwisata dan retribusi. Program efisiensi anggaran dan penataan prioritas belanja sedang dijalankan. Pemerintah daerah justru sedang melakukan penyehatan fiskal, bukan berada di ambang kolaps.
“Ini bukan kabupaten yang ‘sekarat’. Ini kabupaten yang sedang berbenah,” tandasnya.
Jika serius menyelamatkan daerah, mengapa tidak duduk bersama pemangku kebijakan?
Mengapa justru melempar isu sensasional ke publik tanpa membuka data?
Siapa yang diuntungkan jika Pangandaran terus digambarkan seolah gagal?
Pangandaran bukan tanpa masalah. Tapi membingkainya sebagai daerah sekarat tanpa dasar kuat hanya akan melukai kepercayaan publik, dan bisa memperburuk iklim pembangunan.
Rohimat pun mengajak semua pihak untuk kembali ke semangat kebersamaan. “Kalau memang cinta Pangandaran, bawa data, bukan drama. Bawa solusi, bukan ilusi. Dan hentikan politik balas dendam yang dibungkus jargon moralitas,” pungkasnya. (Nana JN)