Ketum PPWI Desak Polisi Usut Dugaan Penggelapan Asal-Usul Anak: “Jangan Bungkam Keadilan demi Lindungi Oknum!”
Jayantara-News.com, Bekasi
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA,. yang juga alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI Tahun 2012, mengeluarkan pernyataan keras agar aparat penegak hukum segera menuntaskan kasus dugaan penggelapan asal-usul anak yang dilaporkan oleh Richard Simanjuntak. Ia memperingatkan, lambannya penanganan kasus ini dapat berdampak fatal pada masa depan sang anak yang kini menjadi korban konflik dewasa.
> “Saya minta kasus ini jangan terus diseret-seret tanpa arah. Anak bukan properti yang bisa diperebutkan! Negara harus hadir melindungi hak anak, bukan membiarkan oknum bermain seenaknya,” tegas Wilson dalam keterangannya kepada media, Jumat (30/05/2025).
Pernyataan Wilson merespons langkah Richard Simanjuntak, warga Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau, yang pada Selasa (26/05/2025) menyerahkan salinan putusan PTUN Bandung ke Polres Metro Kabupaten Bekasi sebagai bukti tambahan dalam laporan hukumnya.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung Nomor 99/G/2024/PTUN.BDG menyatakan batal dan tidak sah Akta Kelahiran Nomor: 3216-LT27082014 atas nama Yohana Margareth Cibero, yang diterbitkan oleh Disdukcapil Kabupaten Bekasi. Majelis Hakim memerintahkan pencabutan akta tersebut dan menghukum tergugat membayar biaya perkara.
Dalam perkara ini, Richard dan istrinya Nurhaida Pakpahan menggugat Kepala Disdukcapil Bekasi karena akta tersebut diduga diterbitkan berdasarkan keterangan palsu yang diberikan oleh Herpen Cibero dan Tiorina Banurea, dua pihak yang kini dilaporkan secara pidana ke Polda Metro Jaya dan telah dilimpahkan ke Polres Metro Bekasi.
> “Anak saya dirampas saat masih berumur 7 bulan oleh Jonas Pakpahan alias Alvin Efendi, lalu diserahkan ke Herpen Cibero yang membuatkan akta lahir sepihak dalam waktu sehari. Ini tidak masuk akal dan sangat janggal,” ungkap Richard.
Menurut saksi dari Disdukcapil, penerbitan akta kelahiran setidaknya membutuhkan tiga hari kerja, memperkuat dugaan manipulasi administratif dalam penerbitan dokumen penting tersebut.
Richard, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pemenuhan Hak Anak di Komnas Perlindungan Anak Kabupaten Pelalawan, menegaskan bahwa akibat rekayasa ini, anak kandungnya kini tumbuh dengan identitas keliru dan tidak lagi mengenal orang tua kandungnya sendiri.
> “Saya berjuang demi masa depan anak saya, bukan demi ego pribadi. Negara harus menjamin keadilan dan kebenaran identitas anak sebagai hak asasi yang tak bisa ditawar,” tegasnya.
Kronologi Singkat:
1. 2014 — Terbit Akta Kelahiran atas nama Yohana Margareth Cibero yang diduga berdasarkan keterangan palsu.
2. 2024 — Richard dan istrinya menggugat ke PTUN Bandung dan memenangkan gugatan secara utuh. Putusan inkracht.
3. 2024-2025 — Richard melaporkan dugaan tindak pidana ke Polda Metro Jaya (LP/B/3907/VII/2024), kemudian dilimpahkan ke Polres Metro Kabupaten Bekasi.
4. 26 Mei 2025 — Richard menyerahkan salinan putusan PTUN ke penyidik UPPA sebagai bukti tambahan untuk mendorong percepatan penanganan kasus.
Dalam pelaporan pidananya, Richard menyoroti pelanggaran Pasal 277 KUHP tentang penggelapan asal-usul seseorang, yang diancam dengan hukuman maksimal enam tahun penjara.
Wilson Lalengke menutup pernyataannya dengan menantang Polres Metro Bekasi agar tidak bermain aman atau membungkam kebenaran.
> “Ini ujian bagi Polri yang mengklaim Presisi — prediktif, responsif, transparan, dan berkeadilan. Jangan biarkan anak tumbuh dengan luka psikologis akibat pembiaran. Jika ada oknum yang terlibat, segera bongkar! Jangan lindungi mafia akta lahir!” seru Wilson.
Kasus ini menyedot perhatian publik karena menyangkut hak identitas anak, integritas data kependudukan, serta kredibilitas penegakan hukum di tengah sengketa keluarga yang kompleks. Publik kini menanti, apakah Polres Metro Bekasi akan berani menindak tegas para pelaku, atau justru menjadi bagian dari kebungkaman sistematis atas keadilan anak. (Tim PPWI)
Sumber: Richard Simanjuntak & Salinan Putusan PTUN Bandung